Melihat
pengumuman ada event dari Tempo Institute bertajuk Peta Kaum Muda di Medan,
saya pun segera mendaftarkan diri. Ada data yang harus diisi sebelumnya,
termasuk alasan ingin mengikuti event tersebut, lalu peserta terpilih akan
dikirimi email. Ternyata beberapa hari sebelum event tersebut, saya mendapat
email undangan. Begitulah akhirnya saya datang kesana, hari Senin, 30 November
2015 di Aula Fakultas Teknik USU, pukul 08.00 pagi.
Sesi
pertama dibawakan oleh Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Bapak Roky.
Pak Roky di Sesi Pertama |
Pada sesi ini, beliau memaparkan apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan Indonesia. Lalu kami diperbolehkan mengajukan satu topik apapun untuk dibahas bersama.
Beberapa
poin menarik yang saya catat selama sesi ini adalah..
- KPK seperti Gong yang gaungnya disimpan oleh para penjabat, sehingga meskipun bunyinya keras, KPK akan selalu terlihat lemah.
- Faktanya, APBN meningkat setiap tahun, tapi tidak difokuskan untuk menangani masalah di Indonesia, seperti masalah feminisme. Setiap 2 jam, ada 3 wanita yang diperkosa dan luput dari perhatian pemerintah. Jika tidak ada pemberitaan media yang gembar gembor, maka pemerintah akan diam saja.
- Di dunia Internasional sekarang, orang – orang tidak lagi bertanya, “Do you speak English?” tapi mereka bertanya, “Do you speak environtment ethic?” Hal ini menandakan bahwa kita, di bumi ini memiliki masalah yang sama.
- Masalah Ketua DPR dan Catutannya. MK mempertanyakan legalitas standing dari Sudirman Said, sementara MKD sendiri hanyalah sub-unit kecil dari DPR. (Saya tidak mengerti bagian yang ini)
Sesi
kedua adalah membuat Peta Kaum Muda. Pada sesi ini, kami diperbolehkan
menuliskan masalah yang menurut kami urgent untuk diatasi. Lalu kami berkumpul dan
berdiskusi bersama para peserta lainnya yang berpendapat sama bahwa masalah
tersebut benar – benar urgent. Setelahnya para peserta dipersilahkan berjalan –
jalan melihat hasil diskusi kelompok lain yang dipampangkan seperti pameran
lukisan. Satu yang membuat saya mengangguk setuju adalah masalah tanah.
Ternyata selama ini tanah wisata di Sumatera Utara luput dari perhatian
pemudanya. Pemerintah seenaknya saja menjajah tanah wisata untuk dieksploitasi.
Saya melihat kekhawatiran yang serius dari masalah tersebut.
Para Promotor Mengajukan Topik |
Sesi
ketiga adalah diskusi bersama narasumber yang terdiri dari Mbak Mian dari FES
(Friedrich Eberto Stiftung), Pak Taufik dari Tempo dan JFlow.
JFlow (tengah), Mbak Mian (kiri), Pak Taufik (kanan) |
Mbak
Mian mengatakan bahwa jika kita anak muda yang gelisah dengan pemerintah, maka
masuklah dan perbaikilah sistem itu dari dalam.
JFlow
menginspirasi dengan ceritanya bahwa ketika dia show di Amerika, ternyata tidak
banyak yang tahu apa itu Indonesia, dimana Indonesia dan apa sih hebatnya
Indonesia. Sementara Korea sudah sangat membumi. Padahal jika ditanya, siapa
Presiden Korea? Apa lagu kebangsaannya? Maka mereka tidak tahu. Nah, yang
membuat Korea terkenal justru K-Pop. Musik yang –jelas- bukan merupakan musik tradisional
Korea, tapi justru terkenal. Indonesia juga bisa begitu. Tidak harus merah
putih, tidak harus lambang garuda, tidak harus tahu-tempe, JFlow membawa
Indonesia bersama music hip-hopnya dan selama ini dia mempromosikan Indonesia
dengan memakai topi bertuliskan angka 62, yaitu kode Internasional Indonesia. Coba
deh search di google 62, pasti keluar Indonesia. Tapi sayangnya, yang keluar
justru berita buruk tentang Indonesia, khususnya Papa minta saham. Sangat
disayangkan, ya.
Rangkaian
acara selesai pukul lima lewat lima belas menit dan peserta pulang membawa oleh
– oleh berupa dua puluh buku dari FES dan sebuah t-shirt bertuliskan Menjadi
Indonesia. Wah!
Oleh - oleh dari FES |
0 komentar:
Posting Komentar