Ketika sedang
dalam kejenuhan, saya suka membaca novel biografi untuk memotivasi diri. Kali
ini saya membaca novel terjemahan berjudul Angela’s Ashes. Novel International
Bestseller ini telah memenangkan Putlizer Price, National Book Critics Award
dan Royal Society of Literature Award. Berkisah tentang masa kecil Franck
McCourt, seorang penulis yang karyanya selalu menjadi bestseller di New York.
Frank McCourt kecil seorang katolik yang dipanggil dengan nama baptisnya,
Francis yang berasal dari nama salah satu santo, yaitu St. Fransiskus.
Kehidupannya sangat sulit, sehingga dia hanya punya sepotong baju yang melekat
di tubuh.
Dia memiliki tiga orang adik lelaki. Adik kedua dan ketiga kembar.
Ibunya seorang Irlandia, sementara Ayahnya dari Utara. Mereka tinggal di Brooklyn,
Amerika. Ayahnya seorang pemabuk berat, sehingga meskipun dia bekerja dan
diberi upah harian, maka dia akan menghabiskannya di Pub untuk minum dan pulang
dalam keadaan mabuk berat, tanpa membawa uang sepeser pun. Mereka tidak punya
apa – apa untuk dimakan, hanya belas kasihan dari pria italia yang membuka toko
makanan dan membolehkan mereka untuk berhutang selonjor roti.
Hingga suatu
hari, Ibunya, Angela, melahirkan seorang bayi perempuan mungil yang cantik.
Ayahnya, McCourt sangat bahagia dan berhenti minum seketika. Kehidupan mereka
membaik karena Ayahnya membawa pulang upah kerjanya, jadi Ibunya dapat melunasi
hutang – hutangnya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, bayi perempuannya itu
meninggal dunia karena pneumonia. Ibunya menjadi depresi, begitupula Ayahnya. Si
penulis menceritakan secara tersirat bahwa adik kecilnya itu ‘’dibeli’’ seorang
dokter, alih – alih untuk dimakamkan, jasad bayi perempuan itu dijadikan bahan
eksperimen untuk kepentingan perkembangan ilmu kedokteran. Uang hasil penjualan
si bayi dihabiskan ayahnya untuk minum – minum di pub dengan alasan demi
melampiaskan duka. Si penulis bersama tiga adiknya terlantar. Ibunya hanya
tidur – tiduran di kasur sambil menatap dinding. Tidak ada yang bisa dimakan. Melihat
keadaan itu, sepupu ayahnya mengirimi nenek mereka surat dan beberapa minggu
setelahnya, tibalah surat balasan beserta tiket pulang ke Irlandia. Disinilah
penulis mulai mengutuki hidupnya yang susah. Nenek dari pihak ayahnya hanya
berniat mengongkosi, bukan menampung keluarga melarat itu di rumahnya, jadi
mereka akhirnya pergi ke Limmerick, kota kelahiran Ibunya. Sama halnya dengan
nenek dari pihak ayahnya, nenek dari pihak Ibunya pun demikian. Rumahnya jauh
lebih kecil sehingga tidak muat untuk menampung mereka. Cuaca dingin yang
ekstreem membunuh adik kembarnya. Tanpa baju yang tebal dan sepatu yang pantas,
mereka tidak bisa berbuat apa – apa. Namun jangan khwatir, Ibunya tak akan pernah
berhenti melahirkan bayi. Setelah adik kembarnya meninggal, Ibunya memberinya
adik lelaki lagi.
Penulis
menunjukkan betapa kejamnya Inggris yang menjajah Irlandia tanpa belas. Kemiskinan
menjadi tubuh dari novel ini. Betapa beruntungnya jika kau mendapatkan sarapan
goreng ikan atau telur dengan mentega dengan garam yang melimpah. Penulis menggambarkan Limmerick sesuci
Vatikan, dimana orang – orang katolik hidup sangat taat. Doa – doa Rosario
dilantunkan begitu khidmat. Ada pertentangan yang sangat kuat antara katolik
dan protestan dalam novel ini. Orang – orang Limmercik menamai penganut
protestan sebagai kaum terkutuk. Masa kelaparan menjadi kesempatan bagi umat
protestan untuk merekrut umat katolik taat untuk mengubah kepercayaan mereka
menjadi pemeluk protestan. Umat protestan memberikan ‘’sup’’ kepada katolik
yang kelaparan. Beberapa kali si penulis menyinggung kata ‘’orang yang diberi
sup’’ sebagai julukan kepada umat katolik yang ingkar dan telah menjual imannya
kepada protestan. Oleh karena itu, setiap orang tua, semiskin apapun mereka,
pasti menuntut anaknya menjadi katolik yang taat. Si penulis pun mendapatkan komuni
pertamanya setelah menghapal larangan – larangan Tuhan. Bahkan ayahnya
mengajarinya untuk menghapal bahasa – bahasa latin dan mengajukannya sebagai
putra altar. Namun sungguh ironi, pastor menolaknya karena dia berasal dari
gang dan terlihat tidak layak. Pastor menginginkan putra altar yang berasal
dari keluarga kaya yang memiliki pakaian bagus dan rambut yang diminyaki. Disisi
lain, orang – orang Limmerick sangat dekat dengan pint, sejenis minuman
memabukkan dan rokok. Hingga jika seseorang mati, maka sebabnya hanya dua,
pneumonia atau kanker paru – paru.
Kehidupan
dingin dan gelap terus berlanjut, bahkan ketika perang dunia kedua pecah
setelah Jerman menyerang Inggris dan membuat Inggris kalang kabut mencari tenaga
tambahan. Inggris masuk kembali ke Irlandia dan menawarkan pria – pria Irlandia
pekerjaan di pabrik – pabrik senjata di Inggris. Mereka dijanjikan upah yang
besar yang cukup untuk membiayai anak istri mereka di Irlandia. Ayahnya pun
ikut serta. Namun tidak pernah ada wesel yang datang ke rumah mereka. Menurut
kabar dari tetangga mereka, ayahnya menghabiskan upah itu di pub – pub di
Inggris. Setelah tamat sekolah dasar, si penulis yang beranjak remaja mulai
berpikir untuk mencari kerja. Mula – mula dia membantu Abbot, pamannya yang
idiot dan pincang menjual Koran, lalu beralih membantu tetangganya mengantarkan
batu bara, lalu menjadi pengantar telegram, hingga menjadi distributor majalah
Inggris. Upah itu dikumpulkannya untuk ongkos ke Amerika. Penulis mengakhiri
novel ini dengan sangat dramatis. Dimana seorang Ibu miskin harus merelakan
anaknya ke Amerika, sementara suaminya di Inggris dan anak keduanya juga pergi
ke Inggris. Dia akan berdua saja dengan anaknya yang paling kecil, tanpa
pekerjaan, tanpa penghasilan dan seolah – olah menunggu kematian menjemput
mereka. Tapi si penulis berhasil meyakinkan bahwa kepergiannya ke Amerika akan
membawa perubahan besar. Dan itu akan diceritakkannya dalam novel selanjutnya.