Judul : Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat
Penulis : Mark Manson
Penerbit : Grasindo
Tahun Terbit : 2018
Bersikap bodo amat memang membutuhkan seni. Ini bukan sekedar kiasan. Buku
ini mampu mempengaruhi perspektif kita terhadap lingkungan sekitar. Ada
beberapa bagian dari buku ini yang menarik menurut saya.
1. Kita Dapat Memilih Masalah
Setiap orang menghadapi masalah berbeda – beda, sesuai kapasitasnya.
Agama juga mengajarkan kita bahwa setiap manusia akan diuji sesuai dengan
kemampuannya. Namun, tahukah kita kalau masalah tersebut dapat dipilah pilih. Masalah
ibarat tipe ujian A, B, C, ada lebih dari satu pilihan masalah. Tipe ujian A
mengukur kualitas A, begitupula tipe ujian B dan C. Apa yang kita peroleh
setelah lulus ujian tersebut adalah sesuai dengan kualitas yang ditawarkan. Sebagai
contoh, seorang mendapat masalah di lingkungan kerja, seperti A: bos yang
merasa superior terhadap jabatannya, B: rekan kerja yang tidak bisa dipercaya,
C: pekerjaan yang menumpuk dan tidak kunjung selesai. Ketiga hal ini adalah
masalah dengan level kualitas berbeda – beda. Kita bisa memilih tipe ujian yang
menjadi fokus. Jika kita pilih A, maka kualitas yang kita peroleh adalah
menjadi anak kesayangan si bos. Jika kita pilih B, maka kualitas kita adalah
menjadi teman yang dapat dipercaya. Jika kita pilih C, maka kualitas kita
adalah menjadi professional dalam pekerjaan. Sebagai manusia yang terbatas,
kita tidak mampu menyelesaikan semua ujian dalam satu waktu. Kita dapat
bersikap “bodo amat” terhadap ujian – ujian yang kualitasnya lebih rendah dari
yang lainnya. Seperti pada contoh ini: A dan B. Fokus saja pada ujian C yang
akan meningkatkan kualitas diri kita menjadi professional.
2. Ubah Nilai Kita untuk
Mendapatkan Hidup yang Lebih Tentram
Terkadang kita terlalu overthinking
terhadap sesuatu dan tersiksa olehnya. Ini disebabkan oleh nilai yang kita
tetapkan untuk hal tersebut terlalu tinggi. Disini Mark mencontohkan kisah dua
orang saudara yang tinggal berjauhan. Si adik menetapkan nilai dari sebuah
persaudaraan adalah chat setiap
waktu. Sementara nilai ini tidak berlaku untuk si abang. Si adik tersiksa
karena nilai tersebut tidak terpenuhi. Nilai ini terlalu tinggi. Jika dia menurunkan
sedikit nilainya, menjadi: nilai dari sebuah persaudaraan adalah tidak
melupakan ulang tahun saudaranya. Maka ini akan lebih mudah untuk dipenuhi dan
menentramkan. Setelah nilai berubah, pandangan pun berubah, menjadi: tidak ada ruginya jika tidak chat setiap waktu. Toh, dia masih saudara kita karena dia akan selalu mengingat ulang
tahun kita.
Contoh lainnya adalah kisah salah satu gitaris band metal di New York
yang dikeluarkan dari band nya. Dia kembali ke kotanya dan bersumpah akan
membuat band metalnya sendiri yang lebih terkenal dari band yang menendangnya
keluar. Hal itu pada akhirnya memang tercapai. Band metalnya menjadi terkenal
dan memiliki banyak penggemar, namun band lamanya ternyata lebih terkenal. Ini
membuat dia merasa terus menerus tidak puas. Nilai kesuksesan yang ditanamkannya
adalah: lebih terkenal dari band lamanya. Nilai ini akan menyiksanya. Jika dia
menurunkan nilainya menjadi: nilai kesuksesan adalah menjadi band metal
terkenal dan memiliki penggemar, maka dia akan lebih tentram.
Menurunkan nilai bukan berarti menjadi pesimis dan apatis, justru kita
menjadi lebih realistis melihat sesuatu sesuai ukuran kita. Besikap “bodo amat”
terhadap nilai yang terlalu tinggi membuat kita dapat melihat dengan jelas
goals kita.
Ada kutipan getir penuh makna yang disampaikan penulis pada bab ini:
“Kita adalah kera. Kita menyangka kita semua sontak menjadi luar biasa
setelah menggunakan oven pemanggang dan memakai sepatu produk dari perancang
terntentu, padahal kita hanya sekelompok kera yang dibungkus ornamen mahal. Dan
karena kita kera, secara naluriah kita mengukur diri kita sendiri dengan
berpatokan pada orang lain dan untuk mencari status.”
3. Kita Tidak Istimewa
Bagian ini paling menarik. Kata “kita tidak istimewa” ini seolah
menyadarkan bahwa kita ini terlalu penuntut. Kita menuntut perhatian dan
pengakuan orang lain terhadap diri kita. Ketika kita berhasil melakukan
sesuatu, kita merasa istimewa dan merasa berhak mendapatkan pengakuan. Padahal,
sesuatu hal tersebut adalah hal remeh temeh bagi orang lain. Ketika kita
disakiti, kita merasa menjadi korban. Secara tidak langsung kita merasa
istimewa dengan identitas sebagai “korban.” Kita menikmati perhatian yang kita
peroleh. Namun, bagaimana jika kita gagal mendapat perhatian? Kita akan memberontak
dan mempertanyakan keistimewaan kita. Lucu sekali. Kita seperti anak kecil yang
akhirnya berhasil menuliskan sesuatu yang tidak penting di dinding rumah. Lalu
menuntut pujian untuk coretan yang tidak penting itu. Ada satu kisah yang
berkesan dari bab ini. Ini tentang seorang remaja broken home yang terlibat
narkoba. Orang tuanya “terlihat” baik – baik saja, namun saling menyelingkuhi
satu sama lain. Remaja ini merasa dia menjadi “istimewa” karena hal ini terjadi
padanya. Dia merasa tidak seperti remaja pada umumnya yang hidup dalam keluarga
harmonis dan penuh kasih sayang. Dengan status “istimewa” tersebut, dia merasa
berhak untuk menghancurkan hidupnya dan mendapat perhatian orang lain. Dia
tidak menyadari bahwa dia bukan satu – satunya manusia di bumi ini yang
mengalami hal tersebut. Ada jutaan orang yang mungkin memiliki masalah yang
sama. Jadi intinya, dia tidak istimewa dan apapun yang dilakukannya tidak
pantas untuk diberi perhatian. Dan apabila dia melakukan sesuatu yang merugikan
dirinya, maka resiko itu hanya akan mempengaruhi dirinya, bukan orang lain.
Jadi, siapa peduli. Disinilah perlunya kita berpikir “tidak istimewa” sehingga
kita akan menjalani hidup dengan stabil tanpa meraung – raung memohon pengakuan
dan perhatian orang lain. Kita akan hidup di jalan cerita yang kita pilih dan
terbaik untuk kita.
Buku ini mengajarkan dan menyadarkan kita bahwa berbagai kejadian di
kehidupan ini dapat disikapi dengan “bodo amat”, khususnya untuk masalah yang
tidak penting dan tanggapan orang lain yang tidak berpengaruh dalam kehidupan
kita. Mengesankan.