Apa yang terjadi dan apa yang terpikirkan

21/04/20

Bodo Amat; Seni yang Tidak Dipelajari di Sekolah Manapun

Judul      : Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat
Penulis   : Mark Manson
Penerbit  : Grasindo
Tahun Terbit : 2018
Bersikap bodo amat memang membutuhkan seni. Ini bukan sekedar kiasan. Buku ini mampu mempengaruhi perspektif kita terhadap lingkungan sekitar. Ada beberapa bagian dari buku ini yang menarik menurut saya. 





1. Kita Dapat Memilih Masalah
Setiap orang menghadapi masalah berbeda – beda, sesuai kapasitasnya. Agama juga mengajarkan kita bahwa setiap manusia akan diuji sesuai dengan kemampuannya. Namun, tahukah kita kalau masalah tersebut dapat dipilah pilih. Masalah ibarat tipe ujian A, B, C, ada lebih dari satu pilihan masalah. Tipe ujian A mengukur kualitas A, begitupula tipe ujian B dan C. Apa yang kita peroleh setelah lulus ujian tersebut adalah sesuai dengan kualitas yang ditawarkan. Sebagai contoh, seorang mendapat masalah di lingkungan kerja, seperti A: bos yang merasa superior terhadap jabatannya, B: rekan kerja yang tidak bisa dipercaya, C: pekerjaan yang menumpuk dan tidak kunjung selesai. Ketiga hal ini adalah masalah dengan level kualitas berbeda – beda. Kita bisa memilih tipe ujian yang menjadi fokus. Jika kita pilih A, maka kualitas yang kita peroleh adalah menjadi anak kesayangan si bos. Jika kita pilih B, maka kualitas kita adalah menjadi teman yang dapat dipercaya. Jika kita pilih C, maka kualitas kita adalah menjadi professional dalam pekerjaan. Sebagai manusia yang terbatas, kita tidak mampu menyelesaikan semua ujian dalam satu waktu. Kita dapat bersikap “bodo amat” terhadap ujian – ujian yang kualitasnya lebih rendah dari yang lainnya. Seperti pada contoh ini: A dan B. Fokus saja pada ujian C yang akan meningkatkan kualitas diri kita menjadi professional.

2. Ubah Nilai Kita untuk Mendapatkan Hidup yang Lebih Tentram
Terkadang kita terlalu overthinking terhadap sesuatu dan tersiksa olehnya. Ini disebabkan oleh nilai yang kita tetapkan untuk hal tersebut terlalu tinggi. Disini Mark mencontohkan kisah dua orang saudara yang tinggal berjauhan. Si adik menetapkan nilai dari sebuah persaudaraan adalah chat setiap waktu. Sementara nilai ini tidak berlaku untuk si abang. Si adik tersiksa karena nilai tersebut tidak terpenuhi. Nilai ini terlalu tinggi. Jika dia menurunkan sedikit nilainya, menjadi: nilai dari sebuah persaudaraan adalah tidak melupakan ulang tahun saudaranya. Maka ini akan lebih mudah untuk dipenuhi dan menentramkan. Setelah nilai berubah, pandangan pun berubah, menjadi:  tidak ada ruginya jika tidak chat setiap waktu. Toh, dia masih saudara kita karena dia akan selalu mengingat ulang tahun kita.
Contoh lainnya adalah kisah salah satu gitaris band metal di New York yang dikeluarkan dari band nya. Dia kembali ke kotanya dan bersumpah akan membuat band metalnya sendiri yang lebih terkenal dari band yang menendangnya keluar. Hal itu pada akhirnya memang tercapai. Band metalnya menjadi terkenal dan memiliki banyak penggemar, namun band lamanya ternyata lebih terkenal. Ini membuat dia merasa terus menerus tidak puas. Nilai kesuksesan yang ditanamkannya adalah: lebih terkenal dari band lamanya. Nilai ini akan menyiksanya. Jika dia menurunkan nilainya menjadi: nilai kesuksesan adalah menjadi band metal terkenal dan memiliki penggemar, maka dia akan lebih tentram.
Menurunkan nilai bukan berarti menjadi pesimis dan apatis, justru kita menjadi lebih realistis melihat sesuatu sesuai ukuran kita. Besikap “bodo amat” terhadap nilai yang terlalu tinggi membuat kita dapat melihat dengan jelas goals kita.
Ada kutipan getir penuh makna yang disampaikan penulis pada bab ini:

“Kita adalah kera. Kita menyangka kita semua sontak menjadi luar biasa setelah menggunakan oven pemanggang dan memakai sepatu produk dari perancang terntentu, padahal kita hanya sekelompok kera yang dibungkus ornamen mahal. Dan karena kita kera, secara naluriah kita mengukur diri kita sendiri dengan berpatokan pada orang lain dan untuk mencari status.” 

3. Kita Tidak Istimewa
Bagian ini paling menarik. Kata “kita tidak istimewa” ini seolah menyadarkan bahwa kita ini terlalu penuntut. Kita menuntut perhatian dan pengakuan orang lain terhadap diri kita. Ketika kita berhasil melakukan sesuatu, kita merasa istimewa dan merasa berhak mendapatkan pengakuan. Padahal, sesuatu hal tersebut adalah hal remeh temeh bagi orang lain. Ketika kita disakiti, kita merasa menjadi korban. Secara tidak langsung kita merasa istimewa dengan identitas sebagai “korban.” Kita menikmati perhatian yang kita peroleh. Namun, bagaimana jika kita gagal mendapat perhatian? Kita akan memberontak dan mempertanyakan keistimewaan kita. Lucu sekali. Kita seperti anak kecil yang akhirnya berhasil menuliskan sesuatu yang tidak penting di dinding rumah. Lalu menuntut pujian untuk coretan yang tidak penting itu. Ada satu kisah yang berkesan dari bab ini. Ini tentang seorang remaja broken home yang terlibat narkoba. Orang tuanya “terlihat” baik – baik saja, namun saling menyelingkuhi satu sama lain. Remaja ini merasa dia menjadi “istimewa” karena hal ini terjadi padanya. Dia merasa tidak seperti remaja pada umumnya yang hidup dalam keluarga harmonis dan penuh kasih sayang. Dengan status “istimewa” tersebut, dia merasa berhak untuk menghancurkan hidupnya dan mendapat perhatian orang lain. Dia tidak menyadari bahwa dia bukan satu – satunya manusia di bumi ini yang mengalami hal tersebut. Ada jutaan orang yang mungkin memiliki masalah yang sama. Jadi intinya, dia tidak istimewa dan apapun yang dilakukannya tidak pantas untuk diberi perhatian. Dan apabila dia melakukan sesuatu yang merugikan dirinya, maka resiko itu hanya akan mempengaruhi dirinya, bukan orang lain. Jadi, siapa peduli. Disinilah perlunya kita berpikir “tidak istimewa” sehingga kita akan menjalani hidup dengan stabil tanpa meraung – raung memohon pengakuan dan perhatian orang lain. Kita akan hidup di jalan cerita yang kita pilih dan terbaik untuk kita.
Buku ini mengajarkan dan menyadarkan kita bahwa berbagai kejadian di kehidupan ini dapat disikapi dengan “bodo amat”, khususnya untuk masalah yang tidak penting dan tanggapan orang lain yang tidak berpengaruh dalam kehidupan kita. Mengesankan.

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

My Badge

Establishing Academic Writing Centers 2020

Awarded: Jan 4, 2021

VERIFY

About Me

Saya adalah alumnus Universitas Negeri Medan (S1) dan Universitas Negeri Malang (S2) jurusan Pendidikan Biologi. Hobi menulis fiksi, volunteering dan travelling. Instagram : @dyah_kusuma07

Popular Posts

-

-

Cari Blog Ini

Copyright © Hari Ini | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com