Saya sangat mengagumi karya Morris
Gelitzman. Jika kita membaca karyanya satu judul saja, maka kita akan sepakat
bahwa dia memiliki kaca mata anak – anak. Saat pertama kali melihat cover dan
judul buku ini, saya mengira isinya pastilah tentang seorang anak pemain sepak
bola yang sukses bermain ke tingkat internasional. Namun ternyata, cover dan
judulnya kurang representative dengan isinya. Sungguh, novel anak – anak ini
berbau serius.
Penulis membangun setting ceritanya di Afganistan. Bukan hal
yang mudah bagi anak – anak untuk tinggal di daerah konflik. Di lapangan
bermain mereka dapat ditemukan puing – puing tank, bangkai pesawat tempur yang
ditembak jatuh, granat, bahkan ranjau darat! Melalui sepak bola, si tokoh ingin
menunjukkan kepada dunia bahwa negaranya juga memiliki pemain berbakat. Dengan
menjadi pemain sepak bola, dia berharap konflik di negaranya akan berakhir. Ya,
seandainya saja memang semudah itu.
Si tokoh, Jamal dan adiknya, Bibi
sangat menyukai sepak bola. Namun di Afganistan, anak perempuan dilarang
bermain sepak bola. Penulis melukiskan bahwa peraturan pemerintah Negara itu
sangatlah kejam dan mengekang. Bahkan disana tidak boleh ada musik ataupun
televisi. Begitupula sekolah. Ibu jamal dan Bibi membuat rumah mereka menjadi
sekolah secara sembunyi – sembunyi. Namun sayang, pemerintah akhirnya
mengetahui hal itu. Untunglah mereka segera memutuskan untuk kabur karena rumah
mereka akhirnya di bom! Perjalanan tidak mudah. Ibu mereka tertangkap dan akan
ditembak mati di stadion sepak bola dan disaksikan banyak orang. Untung saja
Ayah mereka yang seorang supir taksi menerobos masuk dan menabrak para penjaga,
dia berhasil menyelamatkan Ibu.
Novel ini cukup mendebarkan karena
pembaca seolah terperangkap dalam tubuh Jamal dan memiliki pemikiran khas anak
– anak. Ketika Jamal mengejar pencuri bolanya, dia tersesat di antara tenda –
tenda pengungsi dan dia tidak tahu jalan pulang. Saya ikut cemas dan membayangkan
betapa mengerikannya hal itu.
Dan ketika Jamal dan Bibi terpisah
dari Ayah Ibu mereka. Ayah dan Ibu naik kapal yang lain, sementara mereka di
kapal yang satunya. Bayangkan saja, mereka tidak mungkin locat dari kapal dan
mengejar kapal orangtua mereka. Mereka harus bertahan dan saling menguatkan
dalam perjalanan jauh sebagai pengungsi menuju Australia yang entah dimana. Sekilas
tokoh Jamal dan Bibi mirip Ranfi dan Veera dalam serial tv dari India berjudul
Veera yang sedang ditayangkan salah satu stasiun tv saat ini.
Penulis begitu piawai menciptakan
tokoh, sehingga terlihat begitu nyata. Endingnya benar – benar mengharukan. Kapal
yang ditumpangi orangtua mereka dikabarkan tenggelam, namun selalu ada
keajaiban, syukurlah orangtua mereka selamat. Meskipun demikian, mereka
sesungguhnya tidak berada di Australia. Mereka dikumpulkan di satu pulau di
samudra pasifik, tanpa kejelasan akan masa depan.