Begitu membaca cerpen pertama dari
kumpulan cerpen ini, saya berharap bisa membacanya terus menerus, bahkan tidak
perlu berhenti hanya untuk ke kamar mandi. Kumpulan cerpen yang memenangkan
CAINE Prize tahun 2000 ini ditulis oleh seorang wanita Sudan, Leila Aboulela. Leila
merajut gagasan yang – tampaknya- merupakan buah perasaannya secara rapi dan
mengalir. Saya hanyut mengikuti kemanapun si penulis mengalirkan ceritanya. Cerita
pertama dalam buku ini –yang juga merupakan judul buku- adalah coloured lights
(lampu warna – warni).
Dalam cerita ini, penulis menciptakan
tokoh seorang wanita Sudan asli yang tinggal di Inggris. Cuplikan – cuplikan masa
lalu hadir tiba – tiba karena dia melihat sesuatu yang mirip di Charing Cross
Road, London. Lampu. Ya, di Khortum, asal si tokoh, setiap akan dilangsungkan
pesta pernikahan, maka rumah mempelai pria akan dihiasi lampu warna warni,
seperti lampu yang sedang di pajang di etalase toko di Charing Cross Road. Si tokoh teringat akan Abangnya, Taha yang
meninggal tepat disaat acara pernikahannya. Selain kesedihan, penulis juga
menawarkan inspirasi kepada pembacanya. Setelah Taha meninggal, Ayahnya
membuatkan sekolah untuk mengenang putranya itu. Begitupula Ibunya, dia
menyediakan air didalam zeer, penci dari tanah liat, dan diletakkan di bawah
pohon di depan rumah. Air itu menjadi sejuk karena diletakkan di dekat
tumbuhan. Sepanjang hari, orang – orang yang lewat dan kepanasan, boleh meminum
airnya. Ternyata hal yang sama juga dilakukan di Inggris, hanya saja disana air
bukanlah sesuatu yang langka. Orang – orang di Inggris membangun kursi untuk
mengenang yang sudah meninggal, dan orang yang kelelahan boleh duduk disana.
Ada cerita yang mengetuk hati saya,
berjudul ‘Tamu’. Cerita ini berkisah tentang seorang dokter muda, Amina, yang
senang membantu. Suatu kali dia berkunjung ke rumah salah satu pasiennya, seorang
anak bernama Hassan yang lumpuh akibat folio. Dia begitu miris melihat keadaan
rumah keluarga miskin itu. Dia kesana untuk memberikan baju yang layak pada Hassan,
sekaligus memberikan penyuluhan tentang cara KB kepada para tetangga yang
antusias dengan kedatangannya. Karena kehabisan bahan cerita, Amina akhirnya
membahas tentang peraturan bahwa gula akan dijatah di Negara itu. Padahal dia
tahu sendiri bahwa keluarga miskin pasti tidak mampu membeli gula. Sebelum
pulang, Amina didesak Ibunya Hassan untuk menuliskan denah rumahnya agar mereka
bisa kunjungan balasan.
Tanpa diduga, mereka datang! Hassan yang
terpincang – pincang dan Ibunya. Amina merasa malu karena dia mengira mereka datang
untuk mengemis. Diam – diam dia menyesal karena sudah menjalin silaturahmi
dengan keluarga miskin itu. Apalagi hari itu, tunangannya Amina akan datang
bersama keluarganya. Amina menjadi sangat kesal dengan Hassan dan Ibunya. Yang
lebih mengejutkan, mereka membawa oleh – oleh dalam ember kaleng. Dengan jijik,
Amina menduga isinya pasti gorengan yang membuat perut mual. Namun, apakah
kalian tahu isinya? Hmm..isinya.. Gula. Air mata saya tergenang, kulit saya
meremang karena ending cerita ini mengetuk hati saya. Saya membayangkan
bagaimana perjuangan Ibunya Hassan mengumpulkan uang untuk membeli seember
gula. Sungguh diluar dugaan.
Ada tiga belas cerita dalam kumpulan
cerpen ini dan semuanya memiliki isi yang mendalam. Kebanyakan tentang
bagaimana kehidupan seorang Sudan yang tinggal di Inggris dan selebihnya
tentang cinta dan kemanusiaan. Tentu saja dibalut nuansa islami.